“Kamu keliatan tua Ri,” kata Meva tertawa kecil. “Plus gemuk lagi. Haha..”
“Oiya?” gw juga tertawa. “Tapi kamu kayaknya awet muda yah?”
Meva tersenyum. Kami duduk di tepi kolam depan pintu utama masuk gedung. Ada sebuah air mancur kecil di tengah kolam, bergemericik pelan mengiringi suasana sore yg teduh. Selama beberapa detik kami terdiam. Gw sedang mencoba mencari bahan pembicaraan.
“Oh iya Lisa, sekarang gimana kabarnya?” tanya Meva. “Dia kan fans berat kamu tuh. Hehehe..”
“Ah, iya Lisa. Gw nggak tau kabarnya sekarang. Kami lost contact sejak dia di Jepang. Dan gw juga pindah sebelum dia balik ke Indonesia…jadi belum sempat ketemu.”
Meva mengangguk paham.
“Gimana sama Indra?” tanyanya lagi.
“Kayaknya tuh anak dilahirkan memang buat jadi orang sukses. Terakhir kami contact pas lebaran kemaren. Katanya dia hampir menyelesaikan study pasca sarjananya dan lagi berjuang buat promosi jabatan di tempat kerjanya. Hebat yaaa dia..”
“Dan kamu sendiri?” Meva menatap gw penuh minat. “Kayaknya sekarang juga kamu nggak beda jauh sama si Gundul..”
“Haha,” gw tertawa pelan. “Entahlah. Gw selalu termotivasi kalo liat keberhasilan yg dicapai si Gundul. Tapi kayaknya gw harus berusaha lebih keras buat bisa mengejarnya.”
Meva tersenyum.
“Eh, terus gimana tuh kosan kita, masih ada apa udah ganti fungsi jadi museum tuh? Lama banget nggak kesana! Yah kali aja sekarang dibangun monumen bersejarah untuk memperingati kita berdua. Hehehe..”
“Setau aku sih masih sama, cuma ada beberapa perbaikan tentunya. Indra sering nelpon gw kalo kebetulan dia lewat kosan kita. Kangen katanya, mau reunian. Tapi yah tau sendiri lah sekarang mah susah banget mau ketemu juga. Sama-sama sibuk,” gw merasakan kerinduan yg menggelitik dalam hati. “Emmh..kamu masih sering maen ke Karang Pawitan?”
“Enggak. Terakhir kali ke sana ya pas sama kamu itu. Abis itu, nggak pernah sekalipun. Apalagi setelah kerja di sini.”
Gw mengangguk pelan. Angin sore yg panas mendadak terasa sejuk.
“Thanks ya Ri...” kata Meva tiba-tiba.
“Untuk apa?” tanya gw.
“Selama kita barengan di kosan dulu, aku banyak belajar dari kamu,” ceritanya. “Hidup aku juga banyak berubah setelah kenal sama kamu.”
Gw tersenyum. Otak gw langsung merewind kejadian-kejadian yg sudah berlalu sekian lama. Hati gw mencelos…..
“Kamu masih inget tentang pion catur yg berubah jadi menteri?” katanya lagi. Gw jawab dengan anggukan kepala. “Menurut kamu, sekarang aku adah bisa dibilang jadi menteri belum?”
“Seperti yg kamu bilang tadi. Kalo ukurannya materi, jelas kamu udah bertransformasi jadi menteri. Bukan hanya menteri, kamu malah jadi ratu, mungkin?”
Meva tertawa kecil.
“Aku selalu pegang kata-kata kamu soal pion catur itu,” ucapnya. Pandangan matanya menerawang jauh melampaui batas ingatannya. “Aku jadiin sebagai salahsatu pedoman hidup aku. Dan hasilnya sekarang...seenggaknya buat diri aku sendiri, aku merasa lebih baik dari dulu. Jauh lebih baik, kalo aku boleh bilang.”
“Aku turut bahagia Va..”
“Thanks Ri. Kamu emang selalu ada saat aku sedih ataupun bahagia.”
“Ya, begitulah aku...” ucap gw lirih. “Oiya, aku mau tau gimana cerita kamu sampe kamu bisa dapet posisi yg sangat baik di sini.?”
Meva tertunduk malu, tertawa kecil dan mengibaskan rambutnya pelan sebelum menjawab.
“Emh...enggak begitu istimewa siih. Waktu itu kebetulan ajah ada temennya Tante Ezza yg punya info lowongan kerja di sini. Aku kirim deh lamaran aku, dan yah syukurlah aku lulus.”
Gw tarik napas panjang.
“Tapi aku sempet frustasi juga lho, tiap inget target aku di diary. Inget kan?” kata Meva.
Gw mengangguk.
“Tapi lo tetep bisa sampe di titik ini, dan itu hebat!” kata gw jujur.
“Haha... aku cuma belajar dari pengalaman.”
“Kamu sekarang udah pinter yah?” komentar gw.
“Haha.. itu juga gara-gara sering gaul sama kamu.”
Sejenak kami terdiam.
“By the way kamu masih inget sama kalung ini?” Meva menarik keluar sebuah kalung tua yg sedikit usang dari balik kerah seragamnya. Sebuah kalung salib dengan selotip hitam di salahsatu sisinya, sama persis dengan yg gw lihat di kamar gw waktu itu. Itu memang kalung yg selalu dia pakai. Kalung warisan dari neneknya.
“Kamu masih pake kalung itu?”
“Selalu,” jawabnya mantap. “Ini salahsatu saksi sejarah hidup aku. Aku akan selalu pake kemanapun dan apapun yg aku lakukan.”
Gw diam. Airmata gw mendadak sulit ditahan.
“Kamu tau Ri?” lanjut Meva lagi. Suaranya terdengar bergetar kali ini. “Kalung ini udah ratusan kali mengalami bongkar pasang selotip, tapi nggak pernah sedikitpun mengurangi makna di baliknya. Sekarang kamu liat deh.....”
Gw angkat kepala, menengok ke arahnya. Dia sedikit membuka gulungan selotip di kalungnya.
“Kamu inget nggak pertama aku pasang selotip ini?” di balik gulungan selotipnya ada gulungan lain yg sangat lusuh. “Ini selotip yg aku pake waktu pertama nyambung kalung ini, selotip yg aku minta dari kamu. Aku nggak pernah ngelepasnya. Cuma aku dobel aja di luarnya, dan itu yg sering aku ganti......”
“Kenapa Va......?” gw sedikit terisak. “Kenapa kamu masih inget dengan jelas semua itu?”
“Emang kamu udah lupa?” dia balik tanya. “Aku selalu inget kok. Samasekali nggak bisa dilupain. Lagian, setiap kali kita pengen ngelupai sesuatu, justru saat itu kita mengingatnya. Iya kan?”
Gw usapi airmata yg makin banyak jatuh.
“Kamu kok sekarang jadi mellow?” Meva berkomentar. “Ini pertama kalinya aku liat kamu nangis.”
Gw gelengkan kepala.
“Aku nangis bukan karena sedih,” gw berusaha menjawab dengan jelas. “Tapi karena bahagia Va. Aku bener-bener bahagia hari ini.”
Meva diam, memberi kesempatan gw berbicara.
“Aku bahagia bisa ketemu kamu. Aku bahagia liat keadaan kamu sekarang, kamu udah nunjukin dan buktiin ke aku apa yg selalu kamu bilang soal ‘pengen jadi menteri’... aku bahagia banget. Dan aku bahagia, karena kamu nggak pernah lupa cerita tentang kita.....”
Dan Meva memeluk gw. Wangi parfumnya semerbak masuk ke rongga paru-paru gw. Parfumnya masih sama dengan yg dulu. Ternyata dia cuma sedikit nampak lain di luar, di dalamnya dia tetap Meva yg sama yg selalu gw kenang selama ini. Gw raih punggungnya dan balas memeluk. Hangat...... Gw tau Meva juga menangis. Kedua bahunya bergetar...
“..................”
Hheeeemmmmppppphhhh...........gw nggak mau cepat-cepat ini berakhir. Gw masih belum mau melepaskan pelukan ini. Sebagian hati gw mulai menyesali kebodohan diri gw di waktu yg lalu.
“Mafin aku Va,” kata gw.
“Maaf buat apa?..”
Gw terdiam. Masih sama seperti dulu, gw speechless.
“Ada yg nggak bisa aku ungkapin ke kamu waktu itu...” gw mencoba ungkapkan. Gw tahu ini satu-satunya waktu yg tepat buat mengatakan ini.
“Apa itu?.....”
Lama kami terdiam. Waktu seperti berhenti berputar. Diam-diam gw berharap waktu memang benar-benar berhenti.
“Aku sayang kamu Vaa......” akhirnya, gw mampu mengatakan itu.
Sebuah kalimat yg selama bertahun ini selalu takut untuk gw ungkapkan. Setelah kepergiannya, gw selalu ingin mengatakan ini. Dan sekarang, akhirnya gw bisa melakukannya.! Meski mungkin sudah terlambat………….
“Itulah alasan kenapa aku ada di sini..”
Gw tertawa pelan.
“Kamu masih suka pake kalimat itu?” gw ingat momen waktu kami ‘lomba ngerayu’ di kamer gw.
“Cuma itu stok aku soalnya...”
Kami tertawa. Melepaskan pelukan, lalu sama-sama usapi airmata di pipi kami.
“Kamu masih inget bintang keberuntungan yg pernah kamu kasih ke aku?” Tanya gw.
Meva sedikit terkejut, lalu tertawa kecil.
“Ohh, kamu masih nyimpen ya?” tanyanya senang.
“Iya donk. Kan dulu kamu minta aku jaga baik-baik bintang itu.”
“………….”
“Ini,” gw mengeluarkan sebuah gantungan kunci dari dompet gw. “Seperti yg pernah kamu bilang dulu, tiap aku kangen sama kamu, aku selalu liat bintang ini. Tapi kamu kok nggak pernah muncul yaaa..?” gw sedikit becanda.
Dan kami pun tertawa.
“Aku pikir kamu udah buang bintang itu.”
“Enggak lah. Buat aku, ini juga salahsatu saksi sejarah. Semua yg pernah kita lalui, terangkum dalam satu bintang ini……”
Gw menunduk lemas. Saat ini rasanya gw benar-benar ingin melompat ke masa lalu. Tapi sebuah suara menyadarkan gw.
Seperti bunyi dering handphone. Dari kantong celana Meva. Dia mengeluarkan handphone nya, yg bahkan jauh lebih mahal dan bermerek dari handphone gw. Di layar nya yg lebar itu tampak foto seorang laki-laki sedang memeluknya.
“Sebentar ya aku jawab dulu,” katanya pelan.
“Halo sayaang,” Meva menjawab telepon. Suaranya sedikit serak.”Iya ini mau balik. Enggak kok, paling jam tujuh an nyampe rumah. Iya iya biar bibi aja dulu yg ngurusin.”
Dan dia mengobrol sekitar dua menit dengan si penelepon sebelum menutup telepon dan memasukkan handphone nya ke saku baju.
“Maaf yah, tadi suami aku....” kata Meva sedikit malu.
Gw mengangguk paham.
“Udah berapa lama?” tanya gw.
“Belum begitu lama. Baru dua tahun kok. Dan udah punya si kecil yg cakep, mirip ayahnya lho..” dia tersenyum senang saat mengatakan ini. “Kalo kamu gimana?”
“Aku udah punya dua, cewek semua.” kata gw. “Malah udah mau tiga aja. Baru empat bulan siih. Doain aja yaah moga lancar-lancar aja.”
“Oiya? Wah aku kalah produktif donk sama istri kamu! Hahaha,,,”