Sepasang Kaos Kaki Hitam : Part 113

Dan waktu pun terus berputar. Setelah dua minggu menginap di Rumah Sakit, gw dinyatakan sembuh tapi masih harus rutin melakukan pemeriksaan ginjal setiap seminggu sekali. Selama opname di Rumah Sakit, gw sengaja nggak mengabari keluarga di rumah karena nggak mau membuat mereka cemas.

Lambat laun kehidupan gw kembali normal. Gw mulai bekerja kembali di minggu keempat sejak gw opname. Meva pun sudah mulai sangat disibukkan skripsi dan tugas akhir menjelang wisuda. Kami jadi semakin jarang bertemu dengan kesibukan yg kami jalani. Meva sering pulang malam. Sementara gw karena memang masih dalam masa penyembuhan, gw butuh lebih banyak waktu istirahat. Gw jadi sering tidur di bawah jam sembilan, suatu hal yg dulunya sangat jarang gw lakukan. Tapi meskipun sibuk, Meva masih menunjukkan perhatiannya ke gw. Hampir tiap pagi dia bangunin gw begitu masuk waktu Subuh, dan selesai sholat biasanya selalu ada secangkir teh hangat dan nasi bungkus yg dibeli Meva buat gw. Meva menyempatkan menemani gw sarapan dan ngobrol-ngobrol ringan sebelum berangkat kerja. Setelah itu biasanya dia tidur lagi dan menjelang siang berangkat kuliah. Praktis waktu buat gw ketemu Meva cuma di pagi hari. Tapi gw maklum dan kadang-kadang gw bantu dia sebisanya. Dari situlah gw semakin bisa menempatkan Meva sebagai sosok wanita hebat yg tentu saja, punya tempat tersendiri di hati gw. 

Dan Lisa, dia pun semakin disibukkan kegiatannya menjelang keberangkatan ke Jepang. Gw dan Lisa sudah hampir lost contact setelah gw keluar dari Rumah Sakit. Tapi gw masih bisa ngerasain kok, perhatian Lisa nggak pernah berubah sedikitpun meski kami jarang berhubungan langsung.

.....


Awal Juni 2004. Beberapa hari sebelum keberangkatan Lisa ke negeri matahari terbit.

Sudah sejak lama Lisa minta gw nganter dia ke bandara. Setelah mendapat ijin dari sachou, gw rencananya ikut dalam rombongan yg berangkat ke Jakarta pertengahan bulan nanti.

Gw lagi nyari baju mana yg seharusnya gw pake pas hari H, ketika gw menemukan sesuatu di sudut lemari baju gw. Sebuah papan catur kecil dari bahan plastik bermagnet.

Sejenak gw terdiam mengamati papan catur di tangan. Ingatan gw menari-nari dalam kepala. Dan momen-momen itu pun seperti terulang lagi, diputar dalam sebuah tape usang. Momen bersejarah yg penuh kenangan, ketika gw baru kenal yg namanya Mevally, si cewek aneh yg punya kebiasaan aneh. Gw senyum-senyum sendiri.

Lama gw pandangi deret kotak hitam putih itu. Entah apa yg merasuki otak, perhatian gw sudah teralih sepenuhnya ke papan catur ini. Gw duduk dan gw letakkan di lantai lalu gw susun pion-pion sesuai pos nya. Diam-diam gw tersenyum dan berharap Meva ada di hadapan gw, mendorong maju bidak di depan raja dan di depan kuda, langkah awal favoritnya tiap maen catur bareng gw. Tapi begitu nengok keluar dan mendapati lampu kamarnya mati, tanda bahwa yg punya kamar belum balik, khayalan itu menguap. Gw lalu teringat sebuah 'filosofi catur' yg pernah membuat Meva sangat termotivasi. Sebuah filosofi dadakan yg sebenernya cuma ocehan gw aja saking stres nya gw karena kalah terus. Hahaha.

Tapi harus gw akui, filosofi itu secara nggak langsung juga memotivasi gw sendiri. Biar bagaimanapun gw yakin semua orang ingin mendapatkan yg terbaik dalam hidupnya. Dan Meva, gw yakin sepenuh hati, suatu hari nanti dia akan jadi orang yg hebat dan disegani. Gw yakin akan ada saatnya nanti dia dipandang utuh sebagai dirinya dan bukan hanya dari masa lalunya yg kelam. Sepenuhnya gw percaya, Meva mampu melewati kotak demi kotak nya untuk sampai di kotak terakhir dan ber metamorfosa menjadi 'menteri'.

Gw masih duduk melamun dengan papan catur di hadapan gw. Gw tarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Hmm kalau saja nggak ada papan catur ini, mungkin gw nggak akan pernah sedekat ini dengan Meva. Dan soal filosofi itu, biarlah tiap orang menerimanya sesuai dengan pemahamannya masing-masing. Karena hari ini, besok, atau lusa, akan ada bidak yg berubah jadi menteri. Tinggal bagaimana dan sekuat apa bidak itu melewati kotak-kotaknya.



.....