"Ri..bangun Rii..." sebuah tepukan di pipi membuat gw terjaga.
Meva sedang berdiri di depan gw sambil satu tangannya berkacak pinggang.
"Ni anak kebonya minta ampun!" dia gelengkan kepala beberapa kali. "Nggak di kosan nggak di rumah orang, kerjaannya ngeboooo mulu!"
"Ngantuk gw Va.." gw benahi posisi duduk gw.
"Mata lo ada lem nya yak? Kayaknya gampang banget tuh mata nutup," dia lanjutkan ngomelin gw.
Gw menguap malas.
"Oma mana?" tanya gw.
"Di kamer. Lo nya nggak sopan sih ada orangtua ngajak ngobrol malah molor."
"Iya iya maap.."
Meva mencibir.
"Ya udah buruan cuci muka," lalu menarik tangan gw menuju dapur. Ada wastafel di sana. "Abis ini ke rumah nyokap gw."
"Kok nggak bareng di sini? Katanya ini rumah lo?"
"Sapa bilang? Ini rumah nenek gw."
"Tadi pas baru dateng, lo bilang kayak gitu. Ah, nevermind lah. Kita ke mana nih?"
"Grogol," jawab Meva pendek.
Selesai cuci muka kami kembali ke ruang tamu. Setelah pamitan ke Oma, gw dan Meva berangkat pake bus. Gw nggak hafal kota Jakarta jadi gw ngikut Meva aja. Selama perjalanan Meva nggak banyak ngomong. Dia lebih banyak melamun menatap keluar jendela. Tiba-tiba saja dia berubah jadi pendiam.
Dan Meva benar-benar nggak bicara sampai kami tiba di depan sebuah pintu teralis besi. Seorang wanita berseragam membuka gemboknya dan mempersilakan kami masuk. Ruangan ini terletak agak terpisah dari ruangan-ruangan lainnya.
"Dua malam yg lalu mamah kamu kumat, jadi kami pindahkan ke tempat favoritnya," kata wanita berseragam itu pada Meva.
Meva hanya membalas dengan senyuman lalu mendahului gw masuk ke ruangan. Sebuah ruangan kecil yg pengap dengan satu tempat tidur yg sangat kotor tanpa sprei. Orang waras manapun pasti enggan berada di ruangan ini.
"Mah..." Meva berjalan cepat menuju seorang wanita di sudut ruangan. "Mamah apa kabar?" dan langsung memeluknya.
Langkah gw terhenti di depan pintu. Menatap lekat-lekat wanita paro baya yg sedang dipeluk Meva. Seolah tidak peduli dengan kotor dan baunya wanita itu, Meva memeluknya penuh cinta.
Gw disuguhi pemandangan yg mengejutkan sekaligus mengharukan di depan mata gw. Seorang wanita muda, cantik dan rapi, tengah memeluk wanita yg tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Berpenampilan serba kusut, rambut panjang yg tidak pernah disisir hingga mengeras, wajah yg keriput dan berminyak serta jari-jari kasar yg hitam. Sangat kontras dengan Meva.
"Mah," lanjut Meva. "Mamah baik-baik aja kan?"
Wanita itu tetap diam. Nggak berusaha melepaskan diri dari pelukan Meva tapi juga nggak menyambutnya. Dia menatap kosong atap bangsal yg berjamur.
"Meva kangen sama Mamah..." Meva masih memeluknya erat.
Jadi, inikah dia? Wanita tua gila ini adalah mamahnya Meva? Ya, sudah jelas wanita itu gila. Gw langsung menyadari adanya keganjilan begitu Meva tadi menggandeng gw masuk melewati gerbang Rumah Sakit Jiwa ini. Tadinya gw pikir akan menemui seorang dokter wanita pengurus pasien di sini, tapi nyatanya...
Hemmmpph......napas gw seperti tertahan di kerongkongan. Bener-bener sesuatu yg nggak terduga. Gw cuma bisa terpaku, memandang Meva di sudut sana yg kini menitikkan airmata. Entah bahagia entah sedih..
"Mah, ini Meva Mah..." Meva melepas pelukannya, lalu membelai rambut wanita itu. Jelas sekali jari-jarinya yg lentik cukup kesulitan mengikuti bentuk rambut yg mengeras. "Mamah udah makan belum?"
Wanita itu akhirnya menatap Meva.
"Makan?" ucapnya pelan.
"Sebentar," Meva merogoh saku celana jeans nya dan mengeluarkan sebatang permen lolipop. "Ini permen kesukaan Mamah. Masih dingin lho, tadi Meva ambil dari kulkas di rumah."
Meva membuka bungkusnya lalu menyerahkannya ke mamahnya yg sangat antusias menerima permen dari Meva. Meva tertawa pelan. Bahagia tapi airmatanya nggak berhenti menitik.
"Mamah cantik banget hari ini," diusapnya pelan pipi wanita tua itu.
Meva menatapnya penuh sayang.
"Mamah, Meva kangen banget sama Mamah..."
Dia mengacuhkan Meva.
Hati gw mencelos. Sangat tidak bisa dibayangkan rasanya ada di posisi Meva sekarang.
"Mamah kapan pulang ke rumah? Kita bikin puding bareng lagi ya?"
Rasanya seperti bukan melihat Meva yg gw kenal. Seolah terbalik, Meva mengusapi pipi wanita itu, layaknya usapan seorang ibu pada bayinya yg baru lahir. Penuh kasih dan harapan.
"Oiya Mah, coba tebak Meva ke sini sama siapa?" Meva memandang gw dan melambaikan tangannya mengajak gw mendekat.
Gw jongkok berlutut di samping Meva.
"Kenalin Mah, ini Ari..."
Kedua mata wanita itu menatap gw tajam, dan sedetik kemudian dia berteriak histeris. Melempar gw dengan permen di tangannya lalu mulai mengoceh. Wanita berseragam yg menunggu di depan pintu berteriak memanggil dua rekannya, dan beberapa detik kemudian mereka menyergap nyokapnya Meva, menahan tendangan dan pukulan yg diarahkan sporadis ke udara. Mendadak gw jadi ngeri.
Meva langsung menggandeng gw keluar.
"Sampe ketemu lagi Mah..." ucapnya setengah berteriak mengatasi raungan nyokapnya di dalam. Dia menyeka airmatanya, lalu mendahului gw berjalan keluar...