Dua bulan setelah kunjungan gw ke rumah Meva, tepatnya satu minggu sebelum Natal tahun 2002, kabar duka itu datang. Meva sambil menangis menceritakan bahwa nyokapnya meninggal karena kanker darah yg nggak pernah terdeteksi (pasien RSJ sangat jauh dari pantauan tim medis yg layak).
Maka pagi itu gw putuskan cuti dan menemani Meva ke pemakaman nyokapnya. Indra juga gw kasihtau, dan bersama istrinya, dia ikut bareng gw dan Meva ke Jakarta menggunakan mobil pinjaman dari perusahaannya. Nyokapnya Meva disemayamkan di sebuah gereja kecil sebelum dimakamkan di TPU Jeruk Purut. Rencananya dimakamkan sore hari, tapi karena family yg datang melayat sangat sedikit, maka prosesi pemakaman dimajukan beberapa jam.
Ternyata bener yg diceritakan Meva di bus tentang "pencoretan" nama nyokapnya dari keluarga besar, yg datang melayat cuma beberapa family dari Bandung dan Jogja serta kenalan Tante Ezza dan neneknya. Samasekali nggak ada keluarga dari Padang yg datang meski menurut Oma, semua sudah diminta datang melayat.
Well layaknya kebanyakan orang yg kehilangan sosok yg dicintai, Meva tampak sangat rapuh dan nggak hentinya menangis di pelukan Oma. Kedua matanya sembab parah. Dia kelihatan sangat shock. Beberapa kali diciuminya ukiran nama di salib yg menancap di tanah.
Gw sendiri nggak punya banyak kesempatan ngobrol sama Meva. Seperti yg sudah gw bilang, dia lebih banyak menangis di pelukan Oma. Gw ngerti itu. Biarlah Meva menumpahkan semua kesedihannya. Gw yakin dalam beberapa hari yg akan datang Meva sudah bisa lebih tegar. Gw kenal baik Meva.
Dan itu memang terjadi. Beberapa hari setelah tahun baru, waktu gw lagi bersih-bersih kipas angin di beranda sepulang kerja, terdengar langkah kaki menapaki tangga yg udah gw hafal. Gw menoleh ke arah tangga dan muncullah Meva. Dia melempar senyum ramah ke gw.
Dua matanya masih terlihat menghitam karena sembab. Pasti beberapa hari ini dia sudah membuang berliter-liter airmatanya menangisi kepergian nyokapnya.
"Gimana kabar loe?" tanyanya menghampiri gw.
"Lumayan baik," jawab gw. "Lo sendiri? Oiya maaf ya kemaren gw langsung balik abis pemakaman, gw cuma dapet cuti sehari soalnya."
Meva mengangguk mengerti.
"Its oke. Lo udah cukup baik nyempetin dateng ngelayat," ucapnya. Keliatan banget duka yg dalam masih menggelayuti dirinya, meski nggak sebesar yg ditunjukkannya di pemakaman.
"Va..gw sangat berduka sama yg terjadi," ujar gw berempati. "Gw tau rasanya kehilangan."
"Iya Ri.. Lo udah pernah cerita itu.."
"Denger...beberapa orang pernah terjebak dalam kesedihan karna ditinggalkan. Tapi gw harap lo justru bangkit dari keterpurukan itu..."
Meva senyum lagi.
"I wish..." katanya. Mencerminkan keraguannya sendiri.
"So, kapan lo akan mulai kuliah lagi?"
Meva diam sebentar, menghela nafas panjang dan berat, lalu bersandar di dinding.
"Hari ini gw mau beresin barang-barang gw," jawabnya.
"Lho?" kata gw heran. "Maksudnya?"
"Gw mau nenangin diri dulu. Mungkin nggak di sini. Buat beberapa bulan ke depan gw ambil cuti."
"Wah! Gw sendirian dong di sini??"
"Maaf Ri. Tapi gw bingung. Gw lagi labil banget. Gw butuh deket sama keluarga gw. Di Jakarta gw bisa nemenin Oma seharian, jadi nggak kesepian banget."
"Kan di sini ada gw?" terang aja gw protes. Gw keberatan.
"Thanks banget Ri. Tapi gw butuh lebih banyak pengalihan kesepian gw.."
"Emang berapa lama lo di sana?" jujur aja gw mulai merasa takut kehilangan Meva.
"Nggak tau lah. Yg pasti gw pengen sering-sering ke makam nyokap. Mungkin juga gw balik ke Padang."
"Yaaah.....?"
Penonton kecewa! Terlebih gw sebagai pemeran utamanya tentu sangat kecewa!
"Terus, balik ke sini nggak? Kan lo belum lulus?"
"Ah...buat saat ini wisuda tuh jauh banget dari pikiran gw Ri. Gw beneran pengen nenangin diri dulu."
Ah, okelah...
"Terus, berapa hari lo di sini?" tanya gw.
"Gw sekarang ngepak barang, terus pulang lagi..."
Dan ini lebih bikin gw kecewa lagi. Entah apa jadinya gw. Si gundul udah jauh, sekarang ditambah Meva yg pergi. Gw sendirian dong di sini??
Huffft...yasudahlah...
"Tapi lo pasti balik lagi ke sini kan?" gw memastikan hal terakhir yg sangat gw harapkan.
Meva diam beberapa saat.
"Semoga..." katanya lalu tersenyum kelu.
Heemmmmpph........... Gw speechless.
"Itu hak lo," kata gw akhirnya. "Tapi gw akan sangat berterimakasih seandainya lo balik lagi ke sini."
Meva tersenyum sekali lagi lalu memeluk gw.
"Kalo lo kangen sama gw, lo dengerin aja lagu Endless Love. Itu lagu favorit gw," bisik Meva di telinga gw.
Gw makin speechless.
"Apa ini artinya lo nggak akan balik lagi?" kata gw lagi.
Meva cuma menepuk pundak gw dan berbisik lagi.
"Endless Love....."
Itulah pertama kalinya gw merasa sangat takut Meva akan pergi dan nggak kembali lagi. Selama ini gw selalu merasa dia akan terus ada bareng gw. Egoisnya gw!
Ah, entah apa yg gw rasakan sekarang. Semuanya bercampur aduk di dalam ulu hati gw.
Meva melepas pelukannya, melangkah ke kamar, lalu menutup pintunya.....