Sepasang Kaos Kaki Hitam : Part 72

Minggu malamnya setelah capek beresin kamer gw dan Meva duduk-duduk di beranda ngobrol sambil gw sesekali maen gitar warisan Si Gundul. Meva asyik memandang sawah yg seperti berkelip tertimpa sinar bulan. Kedua bola matanya terbenam di balik lensa kacamata yg dia pake.

"Indah yak?" komentarnya membuka sesi curhat malem ini.

"Biasa aja," jawab gw pendek.

"Enggak ah, beda."

"Bedanya?"

"Beda aja. Malem-malem liat pemandangan dari lantai tiga tuh kayak..........ya kayak liat pemandangan dari lantai tiga!"

"???" 

"Eh lo pernah nggak sih ngebayangin ada di tengah sawah malem-malem kayak gini...menikmati terang bulan ditemani nyanyian jangkrik? Wiiih so sweet yak!"

"So sweet apaan? Yg ada gw ditembak sama yg punya sawah, dikira gw maling!"

"Ya nggak mungkin lah!"

"Kok nggak mungkin?"

"Ya palingan dia nyangka lo bebegig sawah."

"Ah, elo sih ngehayalnya nggak keren! Mau romantis-romantisan kok di tengah sawah.."

"Daripada di jamban??"

"..." 

Meva melepas kacamatanya. Tapi jujur aja nih gw justru lebih suka dia pake kacamata. Lebih kalem gimana gitu.

"Oiya gimana hubungan lo sama Lisa?" tanya Meva kemudian.

"Hah?" gw jadi inget pertanyaan yg kemaren malem diajukan Lisa ke gw : "Gimana hubungan lo sama Meva?"

"Yaa gitulah. Emang mesti gimana gitu?" jawaban sama yg gw bilang semalem.

"Kalian pacaran??"

Hebat! Kok bisa ya dua orang berbeda nanyanya sama persis kayak gitu?!

"Ah, enggak kok. Gw cuma temen doank lah. Sesama rekan kerja."

Meva nampak mengangguk-angguk.

"Napa sih lo kok kayaknya masih betah ngejomblo?" lanjutnya.

"Gw? Kayaknya mending lo duluan deh yg jawab pertanyaan itu."

"Yeeey kok jadi gw? Lo yg ditanya juga!" Meva protes. "Kenapa? Apa karena lo masih kebayang mantan lo yg meninggal itu?"

Gw diam sejenak lalu menggeleng.

"Enggak aah. Gw udah biasa aja kok. Cuma ya emang sih gw ngejomblo karna gw nggak laku kali?? Hahaha," gw tertawa garing.

"Bisa jadi," kata Meva serius seolah jawaban gw barusan bener-bener dari hati.

"Lo sendiri kenapa sampe sekarang nggak pernah pacaran? Gw mah mending, pernah laku."

Meva tertawa.

"Nggak papa," jawabnya. "Gw emang orangnya selektif kok. Gw nggak mau aja salah milih cowok. Lagian gw nggak pengalaman soal gituan."

"Basi ah jawabannya!"

"Bener kok! Gw ada kok, cowok yg lagi gw suka..." kedua pipinya bersemu merah.

"Terus, lo udah nyatain perasaan lo ke dia?" ada perasaan senang, ada khawatir juga yg entah dari mana datangnya.

"Dih gila aja masa cewek yg ngejer cowok??"

"Nggak papa lah. Kasian kan ibu kita Kartini harum namanya udah memperjuangkan emansipasi. Buat apa coba? Biar cewek juga punya hak yg sama kayak cowok!"

Meva menggeleng beberapa kali.

"Tapi di jamannya dia nggak ada tuh acara nembak-nembakan cowok."

"Ya maksud gw nggak gitu juga..."

"Pokoknya gw nggak setuju," Meva keukeuh. "Gw nggak mau nyosor duluan. Itu bedanya cowok sama cewek. Cowok lebih suka mencari sementara cewek lebih suka menunggu."

"Kelamaan nunggu entar tua dulu neng. Lagipula darimana cowok bisa tau kalo ada cewek yg suka sama dia sementara ceweknya cuma nunggu?"

"Cewek nggak cuma sekedar nunggu. Cewek juga ngasih tanda-tanda kaleee..."

"Tanda?"

"Iya! Tanda atau isyarat atau aba-aba atau petunjuk atau..."

"Langsung ke intinya aja deh."

"Ya intinya GOBLOK AJA TUH COWOK KALO SAMPE NGGAK NYADAR TANDA-TANDA DARI CEWEK YG SUKA SAMA DIA!"

"Pliss...jelasinnya nggak usah pake otot yak?"

Meva mencibir.

"Lo sendiri," katanya. "Kenapa lo nggak tembak aja tuh si Lisa? Dia ngasih sinyal kuat kan!"

"Kenapa lo jadi marah gitu sih?" gw mulai takut telapak tangannya melayang lagi ke pipi gw.

"Marah?" nadanya turun tiga oktaf. "Ah enggak kok biasa ajah. Tadi gw cuma pengen tau kenapa lo mengabaikan tanda-tanda dari Lisa?" dengan nada yg manis tapi dibuat-buat.

"Mmmh...bukan mengabaikan sih," gw nggak kalah manis. "Kan tadi lo bilang cowok itu sukanya 'mencari'. Nah gw belum nemu yg tepat aja."

Meva kernyitkan kening.

"Menurut loe, mungkin nggak sih seseorang tuh terlalu asyik nyari orang yg dianggap tepat, sampe 'melewatkan' orang di deketnya? Yah maksud gw...maksud gw...bisa aja kan 'orang yg tepat' itu sebenernya ada di dekat kita? Iya kan? Yah siapa tau! Yaa..yaa..siapa tau kan?"

Gw mengangguk.

"Siapa tau..." kata gw lirih. Gw lirik Meva. Sepertinya dia sudah membuang ego dalam dirinya untuk mengatakan itu.

"Oiya Va, kalo boleh tau," lanjut gw. "Cowok yg lagi lo suka itu..."

"Ya?"

"Apa gw kenal sama dia?"

Meva terdiam. Lalu dia menggeleng.

"Enggak. Lo nggak kenal kok," jawabnya.

"Ooh..." kata gw tertahan. "Temen kuliah lo di kampus?"

"Bukan."

"Anak kosan sini? Lantai bawah?"

"Bukan!"

"Lantai dua?"

"Bukan!!"

"Oh..apa diantara Rio dan Egi?" gw menunjuk dua kamar di samping gw.

"BUKAN!!!"

Gw tertawa.

"Ooh yaudah, ntar kapan-kapan kenalin gw ke dia yak.."

Meva malah cemberut. Dia mencibir lalu masuk ke kamarnya.