Seminggu berlalu sejak 'tragedi headset'. Yeah begitulah gw menyebutnya untuk menggambarkan betapa konyolnya gw saat itu. Sebenernya ada beberapa nama yg lain, tapi gw pikir 'tragedi headset' yg paling pas.
Bel pulang sudah berlalu beberapa menit yg lalu. Sore ini mendung rapet banget. Gw berdiri di sudut pantry, menatap keluar jendela sambil menikmati secangkir kopi di meja. Satu stel jas hujan terlipat rapi di sebelahnya. Sore ini gw nebeng sama temen, tapi dia lembur sampe setengah lima jadi gw nunggu dia selesai dulu.
"Lo masih di sini Ri," Lisa masuk ke pantry.
"Lagi nunggu Sugeng selesai lembur," gw senyum ke Lisa. "Tolong biarin pintunya terbuka aja. Takut ada yg salah paham kalo liat cewek sama cowok di ruang tertutup kayak gini."
"Oke," Lisa menekan pintu ke dinding sampe terdengar bunyi klik pelan. "Keberatan kalo gw temenin sampe Sugeng balik?"
Gw lirik arloji gw. Limabelas menit lagi.
"No problem."
Lisa menyeduh teh hangat dan duduk di kursi sementara gw tetap berdiri membelakanginya. Iseng gw ketuk-ketuk kaca jendela. Tebal. Mencegah orang buat terjun bunuh diri menembusnya. Tapi emangnya siapa yg mau bunuh diri dengan cara konyol seperti itu? Pak Agus mungkin? Hahaha... Gw mulai ngelantur. Entah kenapa akhir-akhir ini gw selalu terganggu dengan 'tragedi headset'.
Sikap Meva ke gw tetep kayak biasanya, seolah nggak pernah ada pengakuan gw ke dia. Hmmm mungkin memang nggak pernah ada kali yak? Kan Meva nggak denger? So, buat dia mungkin nggak pernah ada. Tapi buat gw, tragedi itu cukup menciutkan nyali gw. Gw takut untuk ngungkapin lagi perasaan gw ke Meva.
"Lo kenapa Ri? Murung gitu deh seminggu ini."
"Oiya? Enggak ah. Gw rada nggak enak badan aja," kata gw bohong. Enggan mengakui bahwa selama tujuh hari ini pikiran gw selalu tercurah ke Meva.
"Masa sih? Tapi lo kayak orang yg lagi patah hati tuh?"
"Kok tau? Ups...maksud gw...tau darimana emangnya? Gw nggak patah hati kok."
"Ya kali aja. Gw tuh apal banget karakter dan mimik wajah elo Ri. Lo lagi seneng, sedih, marah...gw apal deh."
"Hebat."
"Orang kita ketemu tiap hari. Wajar aja gw hafal."
"Oh..."
Tapi kok gw nggak pernah bisa ngebaca ekspresi Meva ya? Padahal sama juga ketemu tiap hari.
"Masih ada roti nih," Lisa mulai ngoprek lemari gantung punya OB. "Lo mau?"
Gw menggeleng pelan dan memilih meneguk cangkir kopi gw.
"Tell me..." kata Lisa lagi. Dia berdiri di sebelah gw. "Lo sebenernya kenapa? Something problem?"
Gw menggeleng lagi.
"Enggak kok Lis."
"Come on...Gw tuh tau elo. Lebih tau dari yg lo kira."
"Wouw...hebat donk! Sejak kapan lo punya indra keenam?"
"Gw nggak becanda Ri."
"Gw juga."
"Gw nggak suka sama cowok yg selalu nyembunyiin perasaannya."
"Emang gw gitu yak?"
"Seperti yg gw bilang tadi, gw hafal banget elo."
"Nah itu udah hafal, ngapain nanya lagi?"
"Ri..."
"Ayolah, Lisa! Sejak kapan sih gw harus cerita semua masalah pribadi gw ke lo?"
"Oke, kalo memang kehadiran gw nggak membantu masalah yg lagi lo hadapi.."
"Enggak akan lah," kata gw sangat pelan nyaris bergumam.
"Gw cuma peduli sama elo Ri," lanjut Lisa. "Gw nggak rela aja liat lo murung, apalagi sedih. Gw pengennya elo tuh seneng. Syukur-syukur kalo senengnya elo itu karena andil gw.."
Gw tertegun. Bayangan Meva di kepala gw mulai berganti jadi wajah Lisa.
"Lo mungkin nggak mau denger ini," ujarnya lagi. "Tapi lo harus tau, kalo...kalo gw...gw sayang sama lo Ri."
Gw nggak begitu terkejut. Yg gw nggak nyangka adalah Lisa berani jujur bilang itu ke gw. Dan ekspresinya juga tenang banget. Kalem plus tegar. Beda banget sama gw kemaren.
Gw tertunduk lesu.
"....."
"Gw jujur, gw suka sama lo Ri. Sejak dimutasi ke departemen yg sama, gw udah naruh hati ke lo."
"Denger Lis..."
"Enggak. Lo yg denger gw."
Gw diam.
"Silakan lo judge gw ini cewek apaan, berani ngomong kayak gini ke cowok..."
"Gw justru salut kok."
"...Gw peduli sama lo. Gw care. Sebisa mungkin gw jadi temen ngobrol yg baik buat lo. Tempat lo numpahin unek-unek lo soal kerjaan. Rasanya menyenangkan aja, ngelakuin sesuatu yg berarti buat orang yg gw sayang, tanpa gw berharap dapet balasan yg sama. Itu resiko buat gw, dan gw udah sadar hal itu sejak gw memutuskan suka sama lo."
Napas gw jadi berat.
"Dan lo nggak perlu jawab pernyataan gw ini Ri. Gw cuma pengen lo tau aja..."
Gw mendadak speechless. Ternyata ada yak orang yg sayang sama gw sampe segitunya!
Lisa duduk di kursinya. Dia meminum teh nya lalu berkata.
"Eh, lo nggak marah kan gw bilang ini?" nada suaranya biasa lagi.
Gw menggeleng.
"Oke! Kita masih rekan kerja yg baik kan?" Lisa senyum.
"Yaiyalah! Gw nggak bisa mecat orang karna dia suka sama gw. Dasar dodol loe."
Kami berdua tertawa. Tawa yg lepas.
"Lagian lo bukan bos gw!"
"Haha."
"Emmh ya udah gw balik kerja lagi deh. Lembur panjang nih gw," dia melangkah pergi.
"Lisa.."
"Ya?"
"Thanks...buat semua perasaan lo ke gw."
Lisa mengangguk dan tersenyum lebar. Dia menghilang dari pandangan gw di balik pintu yg perlahan menutup......