Bayi mungil yg terbungkus kain putih itu nampak tenang dalam lelap. Dadanya bergerak naik turun seirama nafasnya. Wajahnya agak kemerahan tapi meneduhkan. Dia mewarisi bentuk wajah ayahnya, tapi hidungnya yg meski masih kecil tapi mancung dan lancip sangat identik dengan ibunya.
-HAFA AL FAYYAD-
Nama yg tertulis di papan penunjuk nama yg ditempel di keranjangnya. Dia satu dari sepuluh bayi di ruangan ini yg sedang menikmati tidur pertamanya setelah terlahir sebagai kehidupan baru yg membahagiakan kedua orangtuanya.
"Hafa artinya hujan yg lembut," Indra menjelaskan. "Al-Fayyad yg berarti dermawan. Gw berdoa kelak anak gw jadi orang yg peduli dengan orang di sekitarnya. Dermawan dan menyejukkan layaknya hujan yg turun dengan lembut." Senyumnya masih tertinggal cukup lama di wajahnya.
"Namanya bagus banget," komentar Meva yg berdiri di sebelah gw. Dia bergerak mendekati keranjang kecil dan usapi pipi Hafa kecil. "Lucu. Bikin gemes."
Indra tampak sangat bahagia. Dua matanya yg agak sayu karena kelelahan, tertutupi saking bahagianya.
"Gw sempet takut kalo mesti cesar," ceritanya. "Sebelum ini dokter sempet bilang janin anak gw agak nyungsang gitu, tapi untunglah istri gw nurut anjuran-anjuran dokter, dan saat persalinan pagi tadi berjalan normal."
Indra lalu menceritakan bagaimana telatennya dia menjaga kondisi istrinya menghadapi kelahiran buah hati mereka. Juga bagaimana kagetnya dia sewaktu pagi tadi mendadak pihak Rumah Sakit meneleponnya. Untunglah dia nggak melewatkan momen bersejarah kelahiran anak pertamanya. Indra ada di samping istrinya mendampinginya melalui detik-detik mendebarkan itu.
"Liat nih tangan gw sampe merah gini gara-gara Dea kuat banget pegangannya," dia usapi bekas luka di lengan kirinya.
"Pah..." kata Meva sambil nengok ke gw. "Kapan nih kita punya anak??"
"Gimana pengen punya anak, Papah disuruh tidur di sofa terus!" balas gw lalu disusul tawa kami bertiga.
Rupanya suara kami mengganggu. Hafa terbangun dan langsung menangis lantang. Suaranya melengking tapi halus. Seorang suster di ruangan itu menghampiri kami tapi Indra berinisiatif menggendong bayinya.
"Elo apain Hafa tadi?" gw berbisik ke Meva.
"Enggak gw apa-apain kok," Meva gelengkan kepala. "Cuma nyubit pipinya doang. Sedikiiiit..."
"Sedikit tapi kenceng ya pantes aja nangis tuh."
"......"
Indra menepuk-nepuk bayi dalam gendongannya.
"Kita ngobrol di luar aja," katanya. "Yg lain nanti pada bangun. Kita bawa Hafa ke mamahnya. Dia laper kayaknya."
Lalu kami didampingi suster tadi menuju ruangan istrinya Indra berada. Karena di sana ada beberapa family yg juga datang menjenguk, gw dan Meva cuma ikut nimbrung sebentar lalu keluar ruangan.
"Thanks ya Ri, Va, udah pada mau jenguk ponakan.." kata Indra sumringah.
Gw dan Meva kompak mengangguk.
"Selamat deh ya," gw menepuk bahunya pelan. "Semoga kelak Hafa bisa jadi seperti yg dicita-citakan kalian."
"Amiin..."
Gw menoleh ke Meva dengan pertanyaan "mau pulang sekarang?". Yg dijawab Meva dengan mengangkat kedua bahunya. Gw liat arloji udah jam setengah tujuh petang.
"Dul gw sama Meva pamit yah...udah malem..." kata gw.
"Oke. Gw anter balik?"
"Boleh kalo lo nggak kecapean."
"Bentar gw ambil kunci mobil di dalem."
Dan kami diantar pulang sampe depan kosan oleh Indra menggunakan mobil pinjeman dari kantornya. Hari sudah benar-benar gelap waktu gw dan Meva sampe di beranda kamar kami. Gw duduk selonjoran di kursi dan Meva di tembok balkon melepas penat. Gw belum sempet ganti pakaian, pulang kerja tadi langsung dijemput Si Gundul lalu dilanjutkan menjemput 'paksa' Meva yg sebenernya masih ada jam kuliah.
"Ri," kata Meva sambil melepas kacamatanya. "Hidup Indra tuh sempurna banget ya?"
Gw tersenyum.
"Dia udah punya segalanya yg dia mau," lanjut Meva. "Pokoknya udah lengkap deh dengan kehadiran Hafa."
Gw juga membayangkan demikian.
"Kira-kira kita bisa nggak ya kayak Indra, beberapa tahun ke depan?" kata Meva lagi.
"Jelas bisa laah. Berusaha dari sekarang. Ngumpulin dulu yg bener.."
"Kalo elo, apa yg lagi lo kumpulin sekarang?"
"Duit buat beli rumah. Kan nggak mungkin selamanya gw ngekos di sini."
"Lo mah enak udah punya kerjaan. Nah gw..."
"Ya elo juga berusaha dong, sesuai keadaan lo saat ini. Lo kan mahasiswa nih, ya lo kuliah aja dulu yg bener. Wisuda. Cari kerja, terus mulai tentuin apa aja yg elo mau. Beli rumah kek, beli mobil...ya target lo aja apa."
"Hehehe. Iya juga yak. Soalnya kadang suka takut sendiri ngebayangin masa depan gw nanti."
"Rejeki udah ada yg ngatur kok."
Meva tersenyum lalu turun dan masuk ke kamarnya. Gw masih duduk sambil pejamkan mata. Dalam hati gw berdoa, semoga kelak gw juga punya kehidupan yg sempurna seperti yg gw inginkan..