Sepasang Kaos Kaki Hitam : Part 88

Gw pandangi lagi wajahnya yg penuh damai. Seolah beban yg semalam diungkapkannya menguap bersama embun pagi yg mulai mengering. Dalam hati gw sebenernya iba melihat keadaannya sekarang. Tanpa ayah dan tanpa ibu, tentu sangat sulit buat Meva yg anak tunggal untuk berjuang sendirian. Dengan masa lalu yg begitu hancur serta trauma yg dialaminya, itu akan menambah berat bebannya.

Meva butuh seseorang yg membantunya keluar dari masa-masa sulit. Dia butuh kuping yg bersedia mendengarkan curhatannya. Dia butuh mulut yg mau memberikan nasihat dan support saat dia terpuruk. Dia butuh tangan yg selalu menuntunnya untuk tetap berada di jalan yg akan membawanya ke ujung impiannya. Dia butuh kaki yg rela meninggalkan jejak, untuk dia ikuti, saat dia tersesat dari jalan yg seharusnya dia tapaki. Dia butuh hati yg mau menerima dia apa adanya seburuk apapun masa lalunya. Dan dia butuh pundak untuk menyandarkan kepalanya ketika dia lelah dengan semua bebannya.....

Telapak tangan Meva terasa hangat di pipi gw. Gw genggam tangannya, sejenak gw tergoda untuk sekedar mencium jari-jarinya yg lentik, sebelum akhirnya gw menaruhnya pelan di sisi tangan yg lainnya. Gw bangun. Tapi belum mau beranjak dari tempat tidur.

Gw terdiam di tempat gw. Memejamkan mata sambil membayangkan seandainya ada satu diantara kami yg pergi. Apa yg harus dilakukan?

Meva nggak lebih dari seorang anak kecil yg merengek-rengek meminta sesuatu pada ibunya saat melihat sesuatu yg disenanginya. Dia masih butuh bimbingan untuk menemukan jati diri sebenarnya. Dia masih labil. Makanya kadang gw suka sok bijak ngasih nasihat gitu. Gw tau Meva adalah tipe orang yg mudah mencerna dan biasanya selalu termotivasi setelah mendengar ocehan nggak jelas gw.

Gw care sama dia. Gw nggak mau sesuatu yg buruk menimpanya. Saat inilah gw sadar tahap sayang gw ke Meva bukan sekedar suka ke lawan jenis, tapi ini adalah tentang bagaimana menjaga orang yg kita sayang supaya nggak terluka. Menjaga hati dan tubuhnya.

Saat gw mengetikkan tiap sms balasan ke Meva, gw telah memberikan tangan gw untuk tetap membuatnya tersenyum dengan banyolan-banyolan garing gw. Setiap dia minta ditemani makan, gw sudah memberikan kedua kaki gw untuk berjalan di sampingnya, menjaganya dari hal buruk yg mungkin saja terjadi ketika dia berjalan. Dia membuat gw terjaga di tengah malam cuma untuk mendengarkan curhatnya, gw telah dengan rela menyerahkan sebagian mimpi indah gw, sebagian waktu yg seharusnya gw gunakan untuk istirahat dan menggantinya dengan ocehan ngawurnya. Gw selalu berdiri di beranda tiap Senin sore yg hujan, mengorbankan mata gw untuk melihat kalau saja Meva pulang kuliah, turun dari angkutan umum dan cuma bisa berteduh di bawah telepon umum rusak. Gw akan selalu segera menjemputnya dengan payung yg menjaganya dari air hujan yg bisa membuatnya sakit. Tiap kalimat yg gw ucapkan, adalah doa semoga dia tetap dalam lindungan Tuhan.

Maafin gw Va, gw bukan bermaksud membuat sebuah perhitungan atas apa yg telah gw lakukan. Gw cuma ngerasa, gw sudah berusaha memberikan semua yg gw miliki buat elo. Entah lo menerimanya seperti apa, gw nggak peduli. Yg jelas, sayang gw ke elo lebih dari sayang seorang lelaki yg rela memetik sekuntum edelweiss di tepi jurang demi wanitanya. Lebih dari sebuah rasa ingin memiliki. Tapi yg gw punya adalah sebuah keinginan untuk menjaga. Gw nggak akan memaafkan diri gw sendiri kalo sampe terjadi sesuatu yg buruk sama lo.

Gw buka mata dan mendapati gw masih terduduk dalam kamar yg pengap ini. Meva...dia masih di sebelah gw. Meringkuk di balik kemeja gw yg digunakannya sebagai selimut.

"Gw sayang elo Va," gw cuma bisa berkata dalam hati. "Gw juga sama seperti lo. Gw nggak mau waktu ini cepet berakhir. Gw pun masih butuh elo, untuk mewarnai pelangi di hidup gw. Elo adalah pelita saat gw di tengah gelap malam. Elo adalah jiwa saat raga gw nggak lagi bernyawa."

Lagi-lagi hati gw berdesir. Ah, shit! Gw kok semellow itu yak??

"Ri..." panggil Meva pelan tanpa terbangun dari tidurnya. Tangannya meraba kasur dengan mata terpejam.

"Gw di sini Va," gw raih tangannya. Dia berhenti bergerak.

"Kenapa Va?" tanya gw.

"Lo jangan kemana-mana ya..." kayaknya ni anak ngelindur. "...temenin gw."

"Iya gw nggak kemana-mana kok.."

"......"

Lama kami diam. Genggaman tangannya mengendur. Gw ambil selimut dari lemari dan menutupi tubuhnya. Sekali lagi gw pandangi Meva.

"Endless Love," gumam gw pelan.

Dan pagi itu gw akhiri dengan mengecup keningnya pelan...........